Our

Kamis, 08 Januari 2009

Apa Kabar PKMM?

Oleh: er mallo

Seni adalah dunia tak terbatas. Dunia yang indah. Dunia kreasi, beribu makna mencampurinya tanpa ada sekat. Namun, ketika akan dibuatkan sebuah “bapak” tentu akan menjadi pertanyaan besar. Ada apa? Apa itu?

Beberapa waktu lalu, saya bercerita dengan seorang kawan. Dia seorang pekerja seni di kampusnya. Menurutnya, kehidupan seniman di kampus harus dirangkul. Harus solid. Agar punya power. Ini kontras, sebab kehidupan kampus dunia ilmiah yang penuh gejolak, sebab anak muda yang mengisi semuanya. Tentu mereka tak ingin diatur.

Beberapa bulan lalu, muncul PKMM (Pentas Kesenian Mahasiswa Makassar), pelopornya sebagian pekerja seni kampus. Ada ketua dan perangkat lainnya. Nama ketuanya Roi, dari Nitro Art Club, Sekretarisnya Aya dari Sanggar Seni Karampuang Universitas Fajar. Bendahara saya kurang tahu.

Ini membuatku selalu berpikir. Target PKMM apa? Maunya seperti apa? Menurut Roi, hanya sebagai wadah untuk teman-teman berkreatifitas. Ingin menunjukan taji kesenian mahasiswa Makassar. Ada pentas bersama atau semacam kolaborasi. “Ya, lebih kepada ikatan silaturahmi saja,” katanya.

Saya jadi berpikir, bukankah teman-teman seni di masing-masing kampus sudah saling mengenal. Mereka saling akrab.

Sepertinya Roi, lupa sebelum PKMM muncul teman-teman sering mengundang pentas bersama. Saya malah masih ingat pada 2006, ada kemah seni yang dibuat oleh eSA, lembaga kesenian di Universitas Islam Negeri. Mereka membuat keakraban, mengundang pekerja seni kampus di luar Makassar. Pengurusnya waktu itu, Cembong, menurutnya, ini untuk mengenalkan pada teman-teman luar Sulsel, kalau kita masih ada. Eksis dan cukup punya nyali. “Pokoknya pekerja seni di Makassar ini jangan dipandang sebelah mata lah,” tutur Cembong.

Saya kira konsep ini sama yang dilakukan sekolompok teman-teman membentuk PKMM. Namun, alangkah rancunya ketika, Roi mengatakan bahwa nanti akan ada aturan yang berjalan. “Aturan seperti apa,” tanya saya.
“Ya untuk mebuat teman-teman enak membuat pementesan,” kata Roi.

Saya khawatir suatu saat akan kembali ada sekat yang terjadi di antara teman-teman kampus. Ingat, pekerja seni kampus adalah irama, pendek. Ketika selesai kuliah seharusnya dia mampu keluar. Artinya, ikatan itu yang akan dibangun.

Ambil contoh, bagaimana seniman kita di luar kampus. Saya kira teman-teman sudah paham. Hal itu tak akan dibahas disini.

Pekerja seni kampus adalah orang-orang berpikir. Saya kagum dengan anak Bestra (Bengkel Sastra) Universitas Negeri Makassar. Membuat pementasan. Keakraban dan karya utnuk menunjukan taring. Mereka memakai aula Al Amin, di Universitas Muhammadiyah. Ini tentu contoh yang baik. Tak hanya itu, mereka pun menerbitkan kumpulan puisi untuk penyair kampus. Bukankah ini yang diharap PKMM, jadi untuk apa lagi. Sebab tanpa PKMM sudah bejalan program itu. Kalau pertanyaannya hanya penyair UNM. Berarti penyair atau lembaga kampus lain harus berkaca, semacam cambuk. “Saya kira bersaing dengan karya itu cukup menarik.”

PADA 2007 pula, teman-teman di UKM Seni Talas Universitas Muhammadiyah, mendatangkan aktor Putu Wijaya. Mereka membuat workshop dengan Putu. Teman-teman pekerja seni kampus lainnya dengan antusias mengikuti. Mereka bertemu dengan teman-teman, bercanda, dan latihan bersama. Sekali lagi PKMM telah didahului. Dan jika ngotot untuk tetap ada, apa yang akan di berikan untuk pekerja seni kampus. “Soal target memang kita masih bingung,” kata Roi.

Saya jadi tertegun mendengar ucapan itu. Semoga PKMM tak menjadi lembaga, tempat pemupukan rasa egois. Misalnya, kenapa anak-anak ini tidak bergabung. Kenapa anak-anak ini, tidak ikut bersama. Kenapa anak-anak ini seperti sangat ekslusif. Dan sebagainya.

Saya tak melihat ada kepentingan. Namun ini semacam ironi. Kasihan kreatifitas harus ditunjukan secara bersama. Pekerja seni bukan sekumpulan bebek yang harus diarahkan. Pekerja seni kampus adalah sekumpulan ide yang mencari bentuk. "Saya kira demikian."